
UMKM Luar Jawa, UMKM Luar Biasa.
Tulisan oleh: Edhy Surbakty
“Minyak naik Rp 1.500 saja orang sudah turun untuk demo, padahal di sini dari dulu harga minyak sudah berkali – kali lipat “
Itulah keheranan dari salah satu rekan ngopi kami di salah satu kepulauan di timur Indonesia ketika melihat aksi demo kenaikan BBM beberapa tahun yang lalu.

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai harga BBM, namun akan sedikit mengulas mengenai privilege yang kita rasakan sebagai penduduk pulau Jawa yang kadang tidak kita sadari.
Dalam beberapa tahun belakangan ini bidang yang kami geluti adalah bidang UMKM, sehingga kali ini kami ingin melihat dari sudut padang UMKM. Apakah ada perbedaan privilege yang dirasakan oleh UMKM yang berlokasi di luar Jawa dan UMKM di Jawa.
Sebelum itu, apakah Anda mengalami kesulitan untuk mengembangkan UMKM karena berbagai faktor seperti modal, pemasaran, operasional, dan lainnya?
Jawabannya pasti mengalami kesulitan. Lalu bagaimana dengan pelaku UMKM di luar pulau Jawa? Mereka pun pasti nya akan mengalami kendala juga, tapi ada kemungkinan kendala yang dihadapi berbeda dan berkali – kali lipat dari pelaku UMKM di pulau jawa.
Sebagai catatan, tulisan ini bukan untuk “beradu kesusahan” atau menjadi pembenaran jika ada UMKM di luar pulau Jawa yang stagnan atau tidak berkembang. Tulisan ini hanya bertujuan untuk mengingatkan kita bersama bahwa kesenjangan dalam hal kesempatan dan privilege untuk pelaku UMKM yang tinggal di pusat ekonomi Indonesia (baca: Pulau Jawa) nyata adanya.
Jujur, awalnya pun kami tidak ingin menciptakan dikotomi Jawa dan luar Jawa. Namun, sayangnya ketimpangan puluhan tahun yang ada memang terlihat kontras, walaupun kami pun mengapresiasi pembangunan yang mulai merata di luar pulau Jawa beberapa waktu terakhir ini. Selain itu, kami juga menyadari bahwa perbandingan Jawa dan luar Jawa terkadang terkesan terlalu menyederhanakan dan menggeneralisasi keadaan, karena bahkan di luar Jawa pun terdiri dari berbagai daerah yang memiliki keunikan dan karakteristik ekonomi sendiri. Namun, khusus untuk artikel pembuka ini, atas tujuan penyederhanaan ide ijinkan kami menggunakan istilah Jawa – luar Jawa.
Sekali lagi, tulisan ini hanya sebagai cara berbagi sudut pandang yang didapat dari pengalaman kami dalam berinteraksi dan mengerjakan berbagai program di luar Jawa, yang, siapa tahu, bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Potensi UMKM dan Persebaran UMKM Antar Pulau.
Di Indonesia, UMKM sangat memiliki pengaruh besar dalam perekonomian nasional. Menurut Kementrian Koperasi dan UKM, sektor UMKM menyumbang Rp8.573,9 triliun (61,07 persen) PDB Indonesia. Selain itu, dari segi jumlah pun UMKM Indonesia adalah UMKM yang terbanyak di ASEAN. Tentunya ini juga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja juga, di mana sebelum pandemik, terdapat 116,97 juta orang atau 98% tenaga kerja yang berkegiatan di sektor ini.

Di luar perkara daya saingnya yang masih perlu ditingkatkan, kita masih bisa melihat potensi dari UMKM untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya.
Walaupun UMKM telah terbukti sebagai salah satu penyumbang utama dalam perekonomian nasional, namun, ada satu hal yang menarik dari persebaran jumlah UMKM antar pulau, seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini:
Pulau | UMK (%) | UMB (%) |
Jawa | 60,7 | 65,2 |
Sumatera | 18,6 | 16,6 |
Sulawesi | 8,1 | 5,6 |
Kalimantan | 5,1 | 6,0 |
Bali & Nusa Tenggara | 5,7 | 4,9 |
Papua & Maluku | 1,8 | 1,7 |
Total | 100,0 | 100,0 |
Dari data tersebut, dapat kita lihat bahwa lebih dari 60% UMKM terpusat di pulau Jawa. Hal ini menarik, karena secara luas geografis, pulau Jawa hanya 7% dari total wilayah Indonesia, namun dihuni oleh 151,59 juta penduduk Indonesia atau 56,1% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2020). Tentu saja hal ini berhubungan dengan infrastruktur bisnis yang lebih berkembang di pulau Jawa dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Namun, pada tulisan ini, kami tidak akan membahas mengenai mana yang lebih dahulu muncul, infrastuktur bisnis atau munculnya pengusaha, karena hal itu sama saja seperti memperdebatkan mana yang muncul terlebih dahulu, telur atau ayam.
Karena kami di bahasabisnis.id banyak terlibat di program pengembangan yang berlokasi di luar pulau Jawa, kami bisa mengobservasi secara langsung mengenai beberapa perbedaan yang berpengaruh kepada tingkat pertumbuhan UMKM, kendala yang dihadapi, dan apa saja beberapa solusi dasar yang bisa kita terapkan.
Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai hal yang pada umumnya menjadi kendala dan berbagi solusi yang paling realistis dengan keadaan saat ini berdasarkan pengalaman kami di lapangan.
Faktor Kendala di Luar Jawa
Kami di bahasabisnis.id menyadari bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi kendala pertumbuhan UMKM di luar pulau Jawa, namun kami hanya akan membahas tiga alasan utama.
1. Jumlah Penduduk yang terkonsentrasi di pulau Jawa.

Tidak dapat dipungkiri, salah satu yang paling berpengaruh dalam pertumbuhan UMKM adalah jumlah penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin besar juga pasar lokal yang bisa dilayani. Selain itu, dengan semakin banyak penduduk, tentunya semakin banyak juga pilihan talenta berkualitas yang bisa menjadi pendorong majunya UMKM.
Weijland (1992) menemukan bahwa kepadatan penduduk di suatu daerah sebagai salah satu faktor paling penting yang mempengaruhi permintaan atas barang dan jasa. Semakin banyak penduduk di suatu daerah, maka permintaan atas produk UMKM otomatis akan meningkat.
Mungkin di era digital seperti saat ini ada argumen bahwa keeratan hubungan kepadatan penduduk dengan permintaan tidak sekuat sebelumnya karena adanya pergeseran perilaku konsumen. Saat ini, konsumen sudah lebih terbiasa membeli sesuatu barang dari tempat yang relatif jauh dengan menggunakan platform digital. Namun, karena kompleksitas kondisi negara kita yang berbentuk kepulauan, tentunya pembelian dari daerah terdekat menjadi prioritas utama karena pertimbangan sisi kepraktisan dan sisi ekonomis, khususnya untuk barang komoditas yang umum dan banyak alternatif supplier.
Salah satu contoh nyata adalah dalam pengalaman kami pada produk snack ikan yang diproduksi oleh salah satu UMKM dari Kepulauan Riau. Melalui tes produk yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa produk tersebut mempunyai kualitas dan rasa yang baik. Namun, karena jumlah market lokal tidak terlalu besar, produk ini harus mencoba masuk ke daerah lain yang lebih potensial yang dilihat dari segi jumlah populasi. Tentunya hal tersebut menciptakan kendala baru dari sisi operasional dan strategi.
Selain jumlah, permasalahan sistemik lainnya yang berhubungan dengan penduduk adalah persebaran sumber daya manusia yang handal dan tingkat daya beli masyarakat yang relatif lebih rendah. Delapan dari sepuluh provinsi yang memiliki presentasi penduduk miskin berada di luar Jawa, yang berpengaruh pada daya beli yang tidak sebesar daerah lainnya. Begitu juga dengan mayoritas daerah yang index pembangunan manusianya di bawah rata-rata nasional, yang sebagian besar adalah daerah dari luar Jawa. Ketidakseimbangan ini tentunya berpengaruh terhadap jumlah sumber daya kompeten yang tersedia.
2. Fasilitas dan kematangan lingkungan bisnis yang lebih banyak di pulau Jawa, termasuk akses informasi.
Menurut banyak literatur, kemajuan teknologi informasi adalah salah satu peluang penggerak percepatan pertumbuhan UMKM. Biaya berbisnis relatif menjadi lebih terjangkau karena terbantu dengan adanya teknologi murah.
Namun, di era digital seperti saat ini pun masih banyak kendala yang terjadi, seperti jaringan yang belum stabil dan mencakup semua daerah. Walaupun perkembangan infrastruktur informasi memang saat ini sudah lebih baik, permasalahannya tidak berhenti di situ.
Walaupun terdapat peluang yang ditemukan melalui akses informasi yang telah tersedia, UMKM di luar Jawa biasanya terkendala dalam biaya untuk pengeksekusiannya yang relatif mahal. Hal ini menjadi suatu masalah, karena yang lebih penting dari sekedar akses informasi adalah pemanfaatan informasi tersebut untuk pertumbuhan bisnisnya.
Misalnya ada UMKM di Nusa Tenggara yang mendapatkan ilmu dan pengetahuan mengenai bagaimana memroduksi sepatu yang baik. Sepatu yang dihasilkan pun relatif sangat baik hasilnya, Namun kendalanya adalah mereka sangat kesulitan mendapatkan bahan baku yang berkualitas di daerahnya. Alhasil, mereka perlu mendatangkan bahan bakunya dari pulau Jawa dan tentunya membuat biaya mereka bertambah dan mengurangi daya saing UMKM tersebut. Hal ini lah yang membawa kita masuk ke faktor berikutnya.
3. Kendala logistik dalam pendistribusian barang dan jasa.
Karena berbentuk kepulauan, isu logistik tentunya menjadi salah satu isu utama. Data Bank Dunia melaporkan bahwa di tahun 2018 performa logistik Indonesia berada di urutan ke-46 dari 160 negara (skor 3,15 dari 5). Laporan tersebut juga menyatakan bahwa biaya logistik Indonesia mencapai 23,5% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Ketua Umum ALI (Asosiasi Logistik Indonesia), Mahendra Rianto, menjelaskan bahwa dari total 23% tersebut, sekitar 9% adalah proporsi biaya angkutan atau transportasi. Lebih lanjut, proporsi biaya bahan bakar bahkan bisa mencapai setengah dari biaya operasional transportasi.
Dari data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa logistik adalah salah satu faktor paling krusial bagi bisnis di Indonesia. Di lapangan, menurut pengalaman kami, transportasi dan logostik di luar Jawa relatif lebih mahal dibanding di pulau Jawa karena perbedaan kelengkapan infrastruktur dan jauhnya jarak.

Dengan begitu berkembangnya penjualan melalui platform digital, pemanfaatan peluang tersebut masih belum optimal di banyak tempat karena biaya pengiriman yang mahal. Banyak kasus UMKM yang sebetulnya sudah menarik keinginan pembeli namun batal bertransaksi karena ongkos kirim yang mahal, yang terkadang lebih mahal dari produknya sendiri.
Karena tujuan dari tulisan ini adalah untuk berbagi insight dan memantik diskusi yang bisa bermanfaat untuk diimplementasikan kedepannya, maka akan kita diskusikan tiga pendekatan yang biasanya dilakukan untuk menghadapi kendala-kendala di atas tadi berdasarkan pengalaman bahasabisnis.id dalam berinteraksi dan bertumbuh bersama dengan teman-teman UMKM di berbagai tempat, termasuk dari luar Jawa.
Diskusi: Tiga Pendekatan Utama Untuk Pertumbuhan UMKM di Indonesia (Khususnya di Luar Jawa).
1. Digitalisasi namun kontekstual.
Seiring dengan semakin majunya teknologi, banyak biaya yang menjadi lebih rendah. Misalnya, pembiayaan pemasaran menggunakan sosial media memiliki biaya yang relatif lebih terjangkau oleh UMKM dibanding dengan pemasaran secara konvensional. Lebih jauh, banyak yang mengindikasikan jika teknologi digital adalah salah satu bahan bakar percepatan kemajuan UMKM.
Namun, sayangnya, untuk menyelesaikan permasalaha UMKM ini, terkadang ada yang berfikir “one solution for all”. Akibatnya, banyak yang mengajari UMKM mengenai digitalisasi dengan materi dan perspektif yang sama tanpa memikirkan konteks lokal. Tentu saja mengajari dan melatih UMKM untuk bisa berjualan secara online melalui website, menggunakan e-commerce, melakukan pemasaran di sosial media, dan lainnya itu baik. Namun, perlu diingat bahwa situasi di setiap UMKM di berbagai daerah di Indonesia itu beragam, sehingga digitalisasi yang diterapkan pun harus kontekstual.
Sebagai contoh konkret, UMKM yang berlokasi di kota besar dan dekat dengan pasar bisa mengoptimalkan platform marketplace dan mengiklan secara langsung ke konsumen perorangan lewat sosial media untuk menggenjot penjualannya. Namun, hal tersebut mungkin kurang sesuai dengan UMKM yang berada di lokasi kepulauan yang akan sangat memberatkan di biaya pengiriman. Sehingga, solusinya harus sesuai dengan konteks masing-masing UMKM.
Untuk kasus kedua, pendekatan reseller berbasis teknologi digital lebih memungkinan untuk dilakukan, atau mereka juga dapat memanfaatkan platform digital untuk melakukan transaksi Business to Business agar nilai transaksinya menjadi besar dan mencukupi untuk menutup biaya logistik.
Dari contoh kasus tersebut, jelas bahwa kita tidak bisa melakukan penyeragaman pendekatan walaupun sama-sama berdasar pada semangat digitalisasi.
2. Kolaborasi
Terkadang, ada yang menyangka bahwa semangat kolaborasi antar UMKM itu hanya sebatas untuk menjalin hubungan baik saja. Namun, sebetulnya kolaborasi ini juga bisa berpengaruh pada aspek ekonomi.
Walau nampak klise, dari pengalaman kami, kolaborasi adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan. Kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan bisa menjadi salah satu katalisator pertumbuhan UMKM. Jika menggunakan pendekatan pentahelix, maka faktor yang harus bersinergi adalah unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media.
Lalu, pihak mana yang harus menjadi prioritas utama dalam berkoordinasi? Tentu saja jawabannya sesuai dengan konteks kebutuhan UMKM setempat.
Dalam melakukan pendampingan UMKM, kami pernah berkoordinasi dan bekerjasama dengan pemerintah daerah, komunitas bisnis lokal, jaringan pengiriman lokal, pihak karantina perikanan, bahkan sampai dengan dinas perpustakaan, yang mana banyak pihak menyangka bahwa dinas tersebut tidak memiliki kepentingan dengan UMKM.
Kita bisa berkolaborasi dengan pihak mana saja yang memang relevan dalam membangun UMKM. Salah satu contoh unik adalah kerjasama dengan dinas perpustakaan dan arsip yang menjadikan perpusdes (perpustakaan desa) menjadi pusat-pusat kemajuan kewirausahaan di desa-desa partner. Selain itu, ada juga kerjasama dengan pihak perusahaan swasta dalam pengiriman barang UMKM yang memanfaatkan idle capacity dari angkutan perusahaan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kolaborasi adalah kunci.
3. Inkubasi yang berkelanjutan dan berjangka waktu menengah.
Terkadang solusi yang dikembangkan untuk memajukan UMKM adalah dengan pelatihan beberapa hari, lalu “dilepas” begitu saja dan berharap keajaiban akan terjadi.
Apakah ada yang berhasil? Tentu saja. Namun, dari pengalaman bahasabisnis.id membuat berbagai program pengembangan UMKM, belajar dari kesalahan dan keberhasilan di lapangan, kami bisa menarik benang merah bahwa pendekatan yang jauh lebih baik adalah inkubasi berkelanjutan.

Inkubasi yang terstruktur dalam jangka pendek, menengah, dan panjang akan membuat UMKM bisa mengarungi fase kemajuan bisnis mereka dengan lebih berkesinambungan. Karena kebutuhan dan tantangan tiap fase bisnis akan sangat berbeda, diperlukan pendekatan yang berbeda juga.
Selain itu, yang harus dipahami bersama juga adalah bahwa tidak akan ada program yang memiliki dampak instan, karena kita harus membangun UMKM dari hal yang paling fundamental. Itulah mengapa program singkat terkadang hanya baik dalam pelaporan saja, namun dampak di lapangannya kurang maksimal. Berbeda dengan inkubasi berkelanjutan, di mana minimal tiap fase harus didampingi dalam beberapa bulan agar lebih terlihat kendala dan peluang langsung di lapangan.
Untuk bentuk inkubasinya sendiri, kami biasanya membuat program yang berbeda tiap daerah karena menyesuaikan keadaan di lapangan. Inkubasi UMKM di daerah pesisir yang mayoritas sumber dayanya adalah ikan tentu membutuhkan desain program dan expert yang berbeda dengan pendampingan UMKM yang berhubungan dengan potensi perkebunan. Oleh karena itu, riset mengenai kebutuhan beneficiaries di awal program sangat dibutuhkan.
Sebagai penutup, tentunya banyak dari tulisan ini yang bisa didiskusikan lebih lanjut. Namun, dua sudut pandang yang kami pikir penting untuk diingat dalam menganalisa kemajuan UMKM di luar Jawa.
Sudut pandang pertama adalah perlunya mengakui bahwa ada privilege untuk bisnis yang berada di pulau Jawa karena pembangunan yang tidak berimbang selama puluhan tahun. Ini tentunya tidak menegasikan kemampuan dan kerja keras teman-teman UMKM di pulau Jawa, namun hanya memperlihatkan sudut pandang yang baru.
Sedangkan dari sudut pandang kedua adalah dari pendamping UMKM, di mana sangat perlu untuk para pendamping untuk menghindari fenomena superhero complex yang merasa bahwa kita lebih tau bagaimana “membantu” dan “menyelesaikan masalah” yang terjadi di luar Jawa. Kami meyakini bahwa teman-teman yang tinggal dan berbisnis di sana lebih mengetahui caranya sendiri karena mereka punya pengalaman yang lebih dalam mengenal pasar dan konteks lokal. Oleh karena itu, di sini pendamping hanya membantu berdiskusi mengenai alternatif solusi dari permasalahan yang mungkin terlihat dari outsider.
Dengan kendala yang begitu beragam, kami menaruh hormat untuk semua pihak, khususnya UMKM yang terus berjuang dengan segala keterbatasannya. Semoga kolaborasi kita bisa berlajut demi UMKM yang lebih sejahtera dan mandiri.
Banyaknya tantangan dan hambatan yang merintangi tidak membuat UMKM gentar dan mundur, justru menjadi pemacu semangat untuk maju. Namun kita pun jangan meromantisasi keadaan dan kesulitan tersebut, justru keadaan ini diharapkan menjadi panggilan untuk berbagai pihak berkolaborasi untuk membuat keadaan semakin merata.
UMKM Luar Jawa, Luar Biasa.
Salam Bahasa Bisnis,
Edhy Surbakty., MBA., CA., CPA.
Leave a Comment