
- December 19, 2022
- Official BahasaBisnis.id
- 0 Comments
- Keuangan
Apakah Utang Itu Hal Buruk?
Kita semua pasti sudah tidak asing lagi dengan namanya utang. Kita ketinggalan dompet saat berbelanja, pasti kita akan mengutang. Akhir-akhir ini, kita semakin dimanjakan dengan utang, tak hanya untuk keperluan mendesak, namun untuk keperluan pokok, hiburan, hingga modal usaha. Namun, ada saja permasalahan yang disebabkan oleh utang. Mulai dari dikejar Debt Collector, bahkan sampai masuk penjara. Apakah utang adalah sebuah perbuatan buruk? Namun, sebelum kita mengetahui kebaikan dan keburukan utang, kita perlu mengetahui dua jenis utang, yaitu utang konsumtif dan produktif.
Utang konsumtif itu biasanya digunakan untuk kebutuhan maupun keinginan yang bersifat hiburan. Utang konsumtif dapat dipersepsikan sebagai pinjaman ke pemasukan kita di masa depan untuk memenuhi kebutuhan kita di masa depan, jadi yang didapatkan dari utang konsumtif adalah pemenuhan kebutuhan dan keinginan dengan waktu yang dipercepat dari seharusnya. Oleh karena itu, utang konsumtif dapat dibedakan lagi menjadi untuk kebutuhan dan untuk keinginan.
Utang produktif adalah utang untuk membeli, membuat, atau mempelajari sesuatu hal untuk kebutuhan kita di masa yang akan datang. Jadi, manfaat dari utang produktif ini adalah kesempatan untuk mempunyai akses atau menciptakan penghasilan baru di masa depan. Salah satu contohnya ada utang untuk membuat usaha. Biasa cicilan dari utang produktif dapat dibayarkan dari penghasilan hasil usaha kita dari pinjaman tersebut, setelah kreditnya lunas, maka kita bisa mendapatkan aset yang telah kita bangun dari pinjaman tersebut.

Image source : jago.com
Namun, apakah utang itu buruk? Nah, itu tergantung jenis utangnya sendiri. Namun, dari sudut pandang keuangan, baik utang produktif maupun utang konsumtif dapat dilakukan ketika kita dapat memperhitungkan resiko yang dihasilkan juga. Kemampuan bayar utang dapat dilihat dari rasio cicilan dan pendapatan bulanan. Contohnya pendapatan per bulan kita sebesar Rp.5,000,000, cicilan dari utang adalah Rp.1,000,000, berarti rasio cicilan kita sebesar 20%. Hal itu menandakan bahwa rasio utang kita masih wajar, karena rasio utang wajar itu maksimalnya 30%. Namun, balik lagi kepada kondisi ekonomi setiap orang tergantung dengan pendapatan dan pengeluaran dari orang tersebut. Semakin banyak pengeluaran dari pendapatan kita, maka akan semakin kecil rasio cicilan utang yang kita bisa bayarkan. Dengan menetralisir utang ini, maka kita bisa mengetahui apakah kita dapat mempertanggungjawabkan utang tersebut. Prinsip yang sama bisa kita terapkan untuk utang perusahaan atau negara.
Dalam konteks seperti ini, bukan berarti perusahaan tidak boleh punya fasilitas yang baik untuk karyawan demi meminimalkan utang konsumtif. Perusahaan juga harus mempunyai utang dengan alokasi yang proporsional dan memprioritaskan hal-hal yang berbau produktif. Dalam kacamata berbisnis, mempunyai utang dengan bank adalah hal yang wajar, namun dalam hal ini, pengusaha harus memperhitungkan apakah utang dari perusahaannya tergolong sehat atau tidak. Lantas, bagaimana kita mengetahui apakah utang dalam perusahaan sehat atau tidak? Nah, hal itu dapat dihitung dengan cara menghitung rasionya dengan rumus :

Image Source : Jurnal Indonesia Membangun
Lantas, bagaimana dengan utang negara? Tetap saja kita harus melihat alokasi dari utang tersebut. Contohnya ketika utang digunakan untuk pembuatan gedung mewah adalah salah satu anggaran konsumtif. Jika utang digunakan untuk pembangunan jalan tol itu adalah salah satu anggaran produktif, karena dari pembangunan jalan tol, dapat digunakan menjadi pemasukan tambahan. Jika begitu, apakah negara tidak usah berutang saja? Dalam skala kenegaraan, utang negara adalah hal yang biasa. Negara maju pun juga memiliki utang negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dll. Yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan alokasi dari utang tersebut. Utang negara juga perlu dihitung juga kemampuan bayar utangnya. Biasanya rasio yang digunakan adalah rasio utang terhadap PDB. Walaupun prinsipnya sama, namun dalam skala kenegaraan kadang utang konsumtif untuk kesejahteraan rakyat juga akan dilakukan. Tujuan utama dalam negara bukanlah untuk berbisnis, melainkan untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa utang perlu dilihat dari alokasi penggunaanya untuk mengetahui apakah utang tersebut termasuk jenis yang produktif atau konsumtif. Kemudian, kalau untuk konsumtif, apakah utang tersebut digunakan untuk kebutuhan atau untuk keinginan. Kita juga perlu memperhitungkan kemampuan bayar utang, jika rasio kita masih wajar, maka kita bisa mempertanggungjawabkan pembayaran utang kita. Ada satu hal yang perlu diingat bahwa utang adalah sebuah janji yang perlu kita tepati ke siapapun, sehingga kita harus membayar segala pinjaman yang telah kita pinjam karena hal itu akan berpengaruh ke kepercayaan orang lain ke kita.
Salam Bahasa Bisnis,
Kezia Gabby
Leave a Comment