Pendampingan UMKM Berbasis Konseling Indigenous
Setiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda-beda tergantung dengan budaya masyarakat. Masyarakat inilah yang menjadi target pasar dari para pelaku UMKM. Sehingga secara tidak langsung, setiap daerah akan memiliki potensi pasar serta memiliki parameter yang berbeda-beda tergantung pada budaya dan kebiasaan masyarakat sekitar.

Sebagai contoh masyarakat Gunungkidul yang terbiasa ngeteh akan sulit menerima budaya ngopi sehingga penjualan the akan lebih laris daripada kopi. Namun bukan berarti pasar tidak dapat diciptakan. Dengan memahami perilaku masyarakat, kita dapat membangun pasar. Seperti membangun pasar kopi di Gunungkidul dengan memanfaat kebiasaan warga nongkrong di malam hari. Selain itu, para pelaku UMKM juga memiliki kemampuan yang bervariasi dalam memahami sesuatu. Itulah alasan Rumah BUMN Gunungkidul menggunakan pendekatan Konseling Indigenous dalam melakukan pendampingan terhadap para pelaku UMKM.

Konseling Indigenous mengandung arti konseling yang berakar kepada sistem pengetahuan dan praktek masyarakat, tempat dimana individu menginternalisasi sistem pengetahuan dan praktek perilakunya. Pengakaran kepada “setempat” ini tidak berarti mengabaikan konsep-konsep pengetahuan umum atau konsep-konsep kewirausahaan yang dianggap universal. Namun menjadikan permasalahan masyarakat dan kearifan lokal sebagai fokus utama pendampingan pelaku UMKM. Dengan pendekatan ini, pelaku UMKM yang menunjukkan kecerdasan, dominan, kreatif, dan mandiri, diberikan teknik konseling yang cenderung non direktif.

Sedangkan pelaku UMKM yang pasif, kurang cerdas, tidak berdaya, akan diberikan teknik yang cenderung direktif. Teknik konseling beserta ciri-ciri penerapannya dianggap sebagai konsep universal yang dapat diterapkan dalam berbagai budaya yang berbeda. Dengan demikian, konseling indigenous menggunakan sistem pengetahuan dan praktek masyarakat setempat dan tidak mengabaikan kemungkinan mengadopsi prinsip-prinsip, konsep- konsep dari tempat lain. Pengetahuan dan praktek yang diterapkan untuk para pelaku UMKM tidak menggunakan materi dan contoh dari luar yang ‘dipaksakan’, melainkan merupakan peristiwa dan fenomena yang diperoleh atau datang dari lingkungan sekitar. Dengan harapan, para pelaku UMKM sudah menginternalisasi peristiwa dan fenomena yang ada karena menjadi bagian dari keseharian mereka.

Dengan metode ini fasilitator memiliki kesempatan besar untuk memberikan kontribusi signifikan dalam memberikan solusi sekaligus membangun kerangka berpikir kewirausahaan. Namun dalam hal ini fasilitator tidak sekedar memahami kewirausahaan dan bisnis secara textbook, melainkan harus memahami fenomena yang ada di lingkungan sekitar. Seperti memahami konsep Jawa Narima ing Pandum (Menerima apa yang sudah menjadi kodratnya) dan menerapkannya sebagai motivasi dalam berwirausaha. Karena selama ini falsafah Jawa tersebut menjadi salah satu faktor penghambat dalam memberikan motivasi bagi para pelaku usaha. Sehingga mau tidak mau, seorang fasilitator yang akan menerapkan metode ini tidak hanya belajar tentang bisnis dan kewirausahaan, melainkan juga belajar tentang kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat.

Dalam aplikasi metode ini, tujuan yang ingin dicapai melalui konseling tidak sekedar pendampingan dan konsultasi seputar bisnis dan kewirausahaan, namun juga agar pelaku UMKM memiliki ketegaran dalam menghadapi cobaan hidupnya terutama yang berkaitan dengan usaha yang dijalankannya serta mensyukuri apa yang dialaminya. Tujuan pendek yang diharapkan melalui metode ini mengatasi masalah dalam pengelolaan usaha dan hal-hal umum lainnya terkait usaha yang dijalankan dan produk yang dihasilkan.

Tujuan jangka Panjang dari konsultasi adalah berproses dalam membangun kualitas sumber daya manusia pelaku UMKM yang siap secara mental dan pengelolaan sehingga dapat selalu berpikir kreatif dan berimprovisasi dalam usaha beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan perekonomian yang tidak menentu. Pendampingan dengan metode ini tidak selalu bersifat personal dan individu, namun juga perlu melaksanakan kelas secara klasikal. Hal ini perlu dilakukan untuk menyampaikan materi-materi dasar sekaligus membangun komunikasi antar pelaku UMKM.

Salah satu kelemahan metode ini adalah adanya prasyarat dasar bagi para pelaku UMKM yang harus memahami akar permasalahan utama dari sekumpulan permasalahan yang dihadapinya. Karena dalam hal ini, fasilitator hanya mengarahkan diskusi dan konsultasi sehingga pelaku UMKM dapat menemukan sendiri solusi dan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Metode ini juga menuntut keterlibatan pelaku UMKM secara aktif dalam proses konsultasi. Hal ini akan sangat dipengaruhi empat faktor yaitu tujuan konseling, proses konseling, peran fasilitator dan pengalaman pelaku UMKM.

Bahasabisnis.id sebagai pengelola Rumah BUMN Gunungkidul berharap para pelaku UMKM lebih termotivasi dalam belajar kewirausahaan dan bisnis karena menemukan solusi dari peristiwa sehari-hari. Dan selanjutnya dapat dipraktekan dan diaktualisasikan dalam pengelolaan usahanya.
Salam,
Bahasa Bisnis
Penulis: Edi Dwi Atmaja., M.Si.
Editor: Shafira Destiana






				
Leave a Comment